Rabu, 09 April 2014

Daftar Tanggung Jawab Seorang EmWePe


Lulus kuliah bukan berarti lepas tanggung jawab. Tanggung jawab sebagai seorang akademis memang tuntas, namun tugas sebagai seorang anak dan warga negara masih belum tuntas [wiiihh.. omonganku serasa tingkat Gubernur aja yak.. hehehe..]
Hari Minggu, 16 Maret 2014 lalu aku sah menjadi seorang Miftah Widiyan Pangastuti dengan embel-embel "S.Pd". [berwajah sumringah]
Senin keesokan pagi harinya aku langsung mendapat panggilan kerja ke salah satu Lembaga Bimbingan Belajar di Jember. Ternyata eh ternyata saya diterima [ekspresi cengingisan]
Baguslah, setelah wisuda akhirnya aku merelakan banyak waktu yang biasanya digunakan untuk santai terganti dengan kerja. Antara bahagia, haru, sedih, dan bangga perasaanku ketika itu. Aku rasa itu adalah satu bentuk tanggung jawabku sebagai seorang anak. Tanggung jawab untuk membuat ibu bangga dan tersenyum. Oke, satu tanggung jawab tuntas sementara waktu, ada satu tanggung jawab lagi, yakni aku tumbuh menjadi orang sukses dan menanggung biaya hidup ibu hingga akhir hayatnya. Ya, aku ingin sekali merawat ibu seperti ibu merawat aku dulu. Rasanya tidak mungkin jika aku harus berpisah rumah dan jarang bertemu beliau setiap pulang pulang dari perantauan.
Oke, selanjutnya tanggung yang yang terbilang berat. Mencerdaskan anak bangsa [Ca'ilaaaa... omongannya sekarang tingkat presiden, hohoho..]
Ya, aku pengen banget meluruskan beberapa ilmu bahasa yang terlupakan oleh anak-anak bangsa [sebenarnya aku bingung akan menggunakan 'terlupakan' atau 'tidak diketahui']. Nah, keinginan terbesar bahkan tanggung jawab terbesar sebagai warga negara yang baik, bagiku adalah MENCERDASKAN ANAK BANGSA DAN MEMBUAT MEREKA PAHAM BAHWA BAHASA INDONESIA ADALAH KEKAYAAN TAK TERTANDINGI. (*^0^*)
Ada perasaan khawatir akan masa dean bangsa. Ini serius, aku ndak sok mendramatisir. Gimana nggak khawatir kalo aku langsung terjun ke lapangan dan menemui banyak fenomena mengecewakan atas perkembangan intelektual dan karakter calon pemimpin bangsa. Oleh sebab itu, tanggung jawab sebagai warga negara jauh lebih berat dibanding tuntutan Ibu yang memintaku untuk segera menggandeng pasangan, hahaha...



Sabtu, 21 Desember 2013

Menyembah Kematian

Malam itu, 9 November 2013, tak akan pernah aku lupakan malam penuh caci maki itu. Sembilan tahun bertarung dengan hati dan nurani, sembilan tahun pula menginginkan lepas dari kurungan neraka. Malam itu, kupikir adalah puncaknya. Malam itu, kupikir akan kutemukan surga. Malam itu, kupikir aku telah lepas dari amarah yang semakin hari semakin memuncak. 
Aku bukan Nabi yang memiliki kesanggupan berbincang dengan Tuhan, aku hanya seorang hamba, hamba yang tengah putus asa menghadapi hidup. Aku yang durhaka terhadap seorang ibu. Menginginkan ibu berpisah dengan kekasih hatinya. Kekasih yang mengkhianati, kekasih yang tidak pernah bisa menjadi imam keluarga. Akulah penyebab tangis dari mata ibu. Aku.
Kalian pikir aku kejam? Ya, aku kejam. Enyah saja dari dunia, mungkin itu lah yang terbaik. Tak akan menyebabkan ibu menangis. Namun jujur saja, aku bertanya-tanya, "Apa yang ditangisi ibu?"
Bagaimana lagi aku harus menyadarkan ibu bahwa tanpa masalah yangg tengah menggeluti mereka pun kami tetap tidak menerima kehadirannya. Entah bagaimana lagi aku harus mengatakan pada ibu bahwa bajingan itu tidak pantas untuk kami. Putus harapanku menginginkan kedamaian. Terganti resah tiada tara.
JUJUR SAJA AKU TIDAK INGIN IBU KEMBALI DENGAN BAJINGAN ITU. AKU INGIN MEREKA BERCERAI. AKU TIDAK PUNYA SEORANG AYAH BAJINGAN. AYAHKU TELAH BERADA DALAM RENGKUHAN ALLAH. BUKAN BAJINGAN ITU.
Andai aku memiliki kekuasaan, akan kuurus surat perceraian mereka tanpa hambatan. Melepaskan sepenuhnya hubungan mereka yang memang kuhina sejak dahulu. Namun ibu masih menginginkan bersama dia. Menjilat ludahnya sendiri yang mengatakan ingin lepas dari dunia bajingan itu. Ibu cukup plin-plan. Ketika ibu tidak lagi bisa memutuskan pilihan, maka aku yang akan pergi. Meninggalkan semuanya. Tak ingin lagi peduli.
Kini, di tengah putus asaku, aku menyembah kematian. Lebih hebat dari sebelumnya. Aku pernah menyembah kematian, saat Ayah meninggalkan aku tertinggal di dunia. Kini rasa itu jauh lebih hebat. Hebat tanpa akhir. Tak ada lagi kata yang sanggup kugambarkan. 
Inilah titik akhirku. Titik jenuhku. Titik kematianku.

Jumat, 22 November 2013

Lelah - Tidak Ada Kata Lain

Selama ini saya merasa gesekan di antara kalian bukan karena perbedaan pemikiran, namun karena komunikasi yang kurang sehat. Saya sebagai pendengar tidak ingin menyalahkan siapapun. Masing-masing memiliki pendapat dan cara pandang yang wajar dan manusiawi. Saya lelah, jujur saja saya lelah. Lelah dengan gesekan kalian. Saya hanya memiliki kalian secara fisik, tapi hati kalian tidak menjadi satu. Saya lelah berada di posisi tengah. Berusaha menyatukan kalian namun selalu saja ada tindakan atau ucapan yang dirasa menyinggung pihak lain. Jika ingin saling menyalahkan, salahkan Tuhan. Tuhan yang memberi takdir pada kalian untuk menjadi satu (seharusnya). Jika boleh meminta pada Tuhan, saya tidak ingin lahir dengan keadaan seperti in. Namun itu tandanya saya mengingkari karunia Tuhan. Itu artinya saya tidak berterima kasih pada kalian yang selama ini banyak menolong saya. Saya tidak ingin memilih di antara kalian. Jika itu sampai terjadi, lebih baik saya memilih sendiri tanpa siapapun. Karena mungkin sebenarnya saya telah menjadi pihak lain setelah kematian pemimpin gen kita. Tidak bisakah kalian memahami apa yang ingin saya wujudkan? Tidak bisakah kita menjadi satu dengan tulus seperti (yang seharusnya) takdir. Kali ini saya ingin jujur bahwa saya LeLah. Tiada kata lain.

Kamis, 24 Oktober 2013

Kehadiranmu Di Rumahku

Siapa sangka kamu akan menginjakkan kaki di rumahku? Meski bukan karena keinginanmu pribadi, aku cukup bahagia dengan kehadiranmu di rumahku. Kemarin pada tanggal 21 Oktober 2013 teman kita sedang mengadakan pesta pernikahan. Sebagai teman yang baik tentu saja kamu dan teman-teman berkunjung ke rumahnya yang melewati rumahku. 
Dengan sedikit desakan aku meminta kalian mendatangi untuk berkunjung ke rumahku, dan aku berhasil. Hehehe...
Kamu dan delapan orang teman kita meramaikan malam di rumahku. Aku sangat bahagia. Banyak godaan untuk kita dari teman-teman. Seakan mereka ingin kita bersama menjalin kisah. Kisah kita tak banyak yang tahu, aku menyimpan kenangan itu. Masih dan masih.
Melihat kamu sedekat itu setelah sekian lama tidak bersua membuat hati ini sangat bahagia. Sungguh, kehadiranmu dan teman-teman membangkitkan kembali semangat yang pernah luntur. 
Lucu melihatmu kikuk menanggapi kicauan teman-teman saat kamu bertemu dengan ibuku, kakak iparku, dan terakhir kakak kandungku. Cerita tentang kamu memang telah diketahui oleh keluarga inti, mereka yang tidak pernah mengenalmu secara langsung sangat penasaran dengan kamu. Pantas saja jika mereka juga berkicau ketika kamu datang. Serasa kita adalah pasangan ABG, hahaha...
Selama kamu di rumahku tidak banyak yang kamu bicarakan. Namun kita sempat berdampingan, berbicara seperti dulu, tanpa beban. Kutatap matamu ketika mata kita beradu, ketika kamu duduk di sampingku, masih kutemukan kesejukan di sana. Tak jarang pula aku menangkap matamu sedang memperhatikan gerak gerikku dari ekor mataku. Membuat aku sedikit kikuk. Serasa kita baru saja berkenalan dan saling merasa tertarik, hehehe...
Lama kehilangan senyummu, sulitnya bertemu dengan kamu karena keterbatasan jarak dan waktu, membuat hati ini serasa kehilangan sandaran. Kehilangan seseorang yang selalu ada kapanpun aku mau. Sungguh, kisah kita memang tidak sempurna namun abadi di hati ini. 
Entah apalagi yang harus aku katakan untuk mengungkap perasaan ini, meski sebatas sahabat seperti yang pernah kita putuskan dulu, namun hati ini ingin kita tetap bersama. Sungguh hati ini sangat egois. 
Sudahlah, lupakan tentang perasaan ini, yang pasti namamu, nama dia, namanya, tetap ada di hati, tidak pernah hilang karena kalian yang pernah memberikan warna di hariku.
Kesempurnaan kisah kita akan terjadi nanti saat masing-masing telah memiliki pasangan. Aku berharap hatimu tidak akan salah memilih perempuan yang pantas untuk kamu sayangi lagi.Dan aku, aku sendiri berharap dapat membuka kembali hati ini untuk cinta yang lain.
Kehadiranmu malam itu sangat memberiku semangat untuk segera bangkit dari keterpurukan. Terima kasih, V.C.S.
:) :)
Terima kasih pula teman-temanku yang lain.. hehehe...

Jumat, 27 September 2013

Kota Perantauanmu

Hari ini, aku kembali menginjakkan kaki di kota perantauanmu. Mungkin jika kita masih menjalin kisah, kita akan merencanakan untuk bertemu, namun sekarang tidak lagi. Komunikasi bahkan sangat buruk. Membuat sakit hati ini jika mengingatnya. Adakah kamu mengingatku? Adakah kamu menginginkan kedatanganku ke kota ini untuk menemuimu? Entahlah. Mungkin kamu masih saja terlalu sibuk dengan urusan pribadimu. Atau mungkin kesibukan itu bertambah banyak dengan adanya seorang perempuan idaman hati? Entahlah. Aku tak ingin membayangkannya. Aku tak pernah ingin mengingat bahwa mungkin saja kamu telah bersama yang lain, namun otak ini serasa terus memaksa untuk mengingat itu.
Apa yang harus aku lakukan?

Di kota perantauanmu ini, aku menjelma menjadi sosok yang tak tahu diri. Berusaha merasakan apa yang kamu rasakan. Di kota perantauanmu ini, aku adalah orang brengsek yang tak ingin mengenal banyak orang. Di kota perantauanmu ini, untuk sementara, lima hari saja, aku inginmelihatmu dari kejauhan, sebentar saja. Ingin sekali. Sangat ingin. Aku sadar itu mustahil. Karena aku masih terlalu takut untuk membuka bekas luka itu. Masih sangat terlalu takut sekali. Sengaja kalimat sebelum ini menjadi hiperbola karena memang begitulah kenyataannya.

Rabu, 12 Juni 2013

Tugas Akhir

Huaaaa...
Tugas akhir. Dua kata satu kalimat itu serasa pacar bagi mahasiswa tingkat akhir. Namanya aja udah 'tugas akhir', wajar kalo hampir setiap saat mereka bakal mikir tuh tugas. Parahnya, tugas akhir ini juga menguras tenaga, otak, dan batin sampe bener-bener terkuras. Seperti yang saat ini saya alami. Buseeeeett.... bener-bener parah... Mau tau kisah saya 'berkenalan' dan 'pedekate' sampe akhirnya 'jadian' dengan tugas akhir..?? Mau gak mau pokoknya saya cerita, hehehe...
Awalnya saya mah ogah kenalan dini dengan Avan (sebutan untuk skripsi tersayang ^^). Bukannya sombong, tapi karena emang males aja kenalan, masih belum ada charmistry. Eh, ternyata.. eh, ternyata.. ada salah seorang teman yang bikin saya penasaran pada Avan, akhirnya dengan modal otak yang minim, saya pun maju mengambil langkah pedekate dengan Avan. Hari pertama Avan berantakan dunia-akhirat, jalan terang diberikan oleh seorang dosen yang merupakan salah satu dosen favorit saya. Jadilah Avan versi bayi.
Avan bayi tumbuh menjadi Avan anak-anak berkat petunjuk dosen yang ditunjuk untuk membimbing saya menjadi orangtua Avan. Namun Avan anak-anak terlantar, saya orangtua yang payah karena tidak bisa membesarkan Avan dengan baik (Ini kesalahan fatal, pembaca..!!). Itu semua karena otak saya sepenuhnya saya berikan pada kegiatan PPL (di fakultas lain mungkin namanya magang yak..?? heheee..).
Enam bulan lamanya saya menelantarkan Avan. Dari PPL sampe ujian KK, ujian PPL, dan sempat saya tinggal refresh otak selama seminggu. Setelah tobat karena mantan yang iseng tanpa dosa bertanya, "Gimana, udah skripsi?", akhirnya saya kembali merawat Avan. Bolak-balik ke perpustakaan Universitas untuk menambah volume otak, dan akhirnya saya beranikan diri menyatakan perasaan pada Avan. Ternyata sangat sulit, pembaca..!! Sulit membaca kepribadian Avan yang rumit dan misterius. Tiga kali putus nyambung dengan Avan, akhirnya kami pun jadian. Senang sekali rasanya melihat Avan tumbuh menjadi Avan remaja. Avan remaja sudah melewati masa kritis dengan adanya seminar kecil yang mendapat pujian dari dosen pembimbing dan dosen pembahas. Perubahan sana sini seperti saran dosen pembahas menyempurnakan fisik Avan. Avan sekarang sudah gagah, pembaca... terharu saya... T.T
Avan kembali terguncang, terbengkalai selama sebulan setelah masa seminar. Pada minggu pertama, saya si orangtua Avan, diberi kebebasan mutlak oleh Ibu. Jadilah saya melupakan Avan sejenak. Minggu kedua, saya mengalami kecelakaan yang lumayan bikin stress karena badan tidak bersahabat dengan keinginan mengasuh Avan. Minggu ketiga, saya disibukkan oleh uang. Ya, uang. Pengen punya uang dari salah satu hobi, menulis. Untung saja hobi saya bermanfaat, baru minggu lalu saya menerima bayarannya, hehehe... Dan di minggu keempat, saya berusaha keras melawan rasa malas. Tapi, pembaca... Tidak semudah membalikkan telapak tangan, malas saya termasuk akut. Ditambah adanya si jagoan kecil yang selalu saja menggoda saya untuk bermain. Benar-benar godaan... (-.-")
Well, saya menutup mata dan telinga dengan lakban supaya gerakan lincah dan ocehan si jagoan kecil tidak lagi menjadi godaan. Ditambah nenek Avan yang sering bertanya, "Kapan sidang...??", seminggu berikutnya saya semakin giat mengumpulkan semua hal yang dibutuhkan oleh Avan. Saya juga merawat Avan semampu saya. Tiga hari terakhir saya mengenal Avan sebaik mungkin ditemani bergelas-gelas kopi (setelah sekian lama nggak nyapa kopi akhirnya saya kembali menyapa kopi, hehehe..). Semangat spontan dari seseorang yang jauh di sana semakin menjadikan saya optimis bahwa saya bisa menjadi orangtua yang bertanggung jawab (terima kasih semangatnya, "A" :) )
Merasa puas dengan hasil kerja keras selama tiga hari berturut-turut, yang terbayar dengan perut mual sepanjang waktu selama seharian, akhirnya saya berniat mengenalkan Avan dewasa pada dosen pembimbing. Namun sayang seribu sayang, rupanya Avan masih malu dan dosen pembimbing juga tidak bisa ditemui. Lama menunggu di lorong kampus dengan orangtua skripsi lain, ngomong ngalor ngidul sampe habis topik pembicaran, kelaparan dan kehabisan oksigen di lorong kampus, tapi menghasilkan kekecewaan mendalam, akhirnya saya pulang menghibur diri. Seperti biasa, menghibur diri dengan es krim (dadah babay sementara waktu, kopi... :D). Cukup menenangkan, pembaca. Silahkan dicoba... :D
Liku-liku saya membesarkan Avan dan berharap Avan segera mandiri masih panjang. Sangat panjang. Entah seberapa panjang, yang jelas saya masih berusaha sekuat tenaga. Semoga saja, kelak ketika Avan telah siap saya tinggalkan (sudah jadi bendeLan, ciiiiiin... maksudnya), saya akan menerima jabatan tangan dari pemimpin Universitas yang seraya berkata, "Selamat, Anda telah menjadi orangtua yang hebat. (Selamat, Anda lulus. Selamat datang di dunia baru)". Dan saya akan tersenyum bahagia diiringi air mata haru dari kakek dan nenek Avan. Aaaahh... Gak sabar rasanya menanti hari itu... hehehe...
Ini ceritaku dengan Avan, bagaimana dengan ceritamu..?? :)

Kamis, 16 Mei 2013

Enaknya Jadi Orang Jahat

Tuhan tidak memerintah Anda untuk selalu menyembah-Nya dan melupakan perasaan orang lain.
Tuhan pun tidak meminta Anda untuk menjadi sempurna karena Dia tahu bahwa manusia tidak akan pernah sanggup menjadi sesempurna yang Dia mau.
Jika Anda adalah salah satu orang yang percaya akan kebesaran Tuhan dan selalu taat melaksanaan ibadah lima waktu, seharusnya Anda juga adalah orang yang mengerti perasaan orang lain.
Jika Anda adalah salah satu orang yang mengerti tentang tata krama budaya, seharusnya Anda juga mengerti tentang tata krama secara umum. 
Menjaga perasaan orang lain bukan hanya dengan menyaring setiap kata yang keluar dari mulut tapi juga sadar akan sikap terhadap orang lain. 
Tidak mudah menjadi orang baik-baik. Terkadang ketika kita telah berusaha memberikan yang terbaik pada sekitar, namun tetap saja ada pihak yang akan memberi label pada kita "MUNAFIK" atau "PALSU" atau "PEMBOHONG". 
Inilah yang saya alami. Ketika saya ingin memberikan kenyamanan pada orang sekitar saya, ternyata masih ada saja pihak yang menganggap bahwa apa yang saya lakukan adalah TOPENG. Mereka adalah orang-orang yang percaya pada Tuhan, menjalankan perintah ibadah lima waktu dengan benar dan taat. Saya hanya bisa mengelus dada, berharap akan ada kesabaran yang lebih untuk menghadapi semuanya.
Jika saya bisa bertahan, ibu saya harus lebih bisa. Karena beliau adalah orang yang juga dianggap bertopeng ketika niatnya sangat tulus. Entah apa yang salah dengan kami sehingga pihak-pihak itu terus saja menyalahkan dan memandang sebelah mata keberadaan kami. Mungkin lebih gampang menjadi orang jahat ya..?? 
Orang yang tabiatnya jahat ketika berbuat jahat akan dimaklumi, namun ketika orang dengan tabiat baik tidak sengaja melakukan kesalahan dan berusaha membenahinya, tetap saja dicela dan disingkirkan.
Tuhan, prinsip saya, "Siapapun yang membuat nangis sedih ibu akan berhadapan dengan saya. Sekalipun itu saudara kandung." tetap berlaku sampai kapanpun.

Minggu, 05 Mei 2013

Butuh Keyakinan


Ketika bunga matahari tidak lagi mengikuti arah matahari, akankah matahari cemburu? Tidak. Matahari akan tetap pada rotasinya, dia yakin bahwa bunga matahari tidak akan berpaling darinya. 
Begitukah perumpamaan kita?
Seperti kau yang tidak pernah takut kehilangan aku karena kau tahu aku tak akan menjauh dan menghilang dari sisimu. Hingga cinta ini terasa sepele bagimu. 
Adakah kau muncul dalam rotasiku untuk sekedar mengatakan pada dunia bahwa kita saling memiliki? Apakah kau masih membuka kesempatan untuk kita saling mencari tambatan hati? Lalu untuk apa keadaan saling memiliki ini? Itu keraguanku padamu. Tidakkah kau ingin meyakinkan aku?
Ya, aku memang bukan yang teristimewa di hatimu. Aku tahu itu dari caramu memperlakukan aku. Tapi hati ini tetap padamu.
Ya, kau memang bukan yang pertama bagiku. Kau tahu aku pernah terluka. Tapi hati ini menginginkan kau lah yang terakhir.
Tidak, kau tidak seburuk itu. Kau memang memilih aku, berusaha menjaga hati, dan memberikan kecupan jauh untukku. Ku bahagia. 
Hanya saja, ketika bidadari lain menyapamu, kau dengan segera akan menyambutnya. Tak peduli pada kedatanganku yang lebih dulu. Sampai di sini, sadarkah kau dengan hati ini? Pernahkah aku memperlakukanmu sedemikian?
Satu hal, aku butuh keyakinan darimu... 
Wajar, karena aku ingin bersamamu...