Saat Hati Bicara
^ EMWEPE ^
Rabu, 09 April 2014
Daftar Tanggung Jawab Seorang EmWePe
Sabtu, 21 Desember 2013
Menyembah Kematian
Jumat, 22 November 2013
Lelah - Tidak Ada Kata Lain
Selama ini saya merasa gesekan di antara kalian bukan karena perbedaan pemikiran, namun karena komunikasi yang kurang sehat. Saya sebagai pendengar tidak ingin menyalahkan siapapun. Masing-masing memiliki pendapat dan cara pandang yang wajar dan manusiawi. Saya lelah, jujur saja saya lelah. Lelah dengan gesekan kalian. Saya hanya memiliki kalian secara fisik, tapi hati kalian tidak menjadi satu. Saya lelah berada di posisi tengah. Berusaha menyatukan kalian namun selalu saja ada tindakan atau ucapan yang dirasa menyinggung pihak lain. Jika ingin saling menyalahkan, salahkan Tuhan. Tuhan yang memberi takdir pada kalian untuk menjadi satu (seharusnya). Jika boleh meminta pada Tuhan, saya tidak ingin lahir dengan keadaan seperti in. Namun itu tandanya saya mengingkari karunia Tuhan. Itu artinya saya tidak berterima kasih pada kalian yang selama ini banyak menolong saya. Saya tidak ingin memilih di antara kalian. Jika itu sampai terjadi, lebih baik saya memilih sendiri tanpa siapapun. Karena mungkin sebenarnya saya telah menjadi pihak lain setelah kematian pemimpin gen kita. Tidak bisakah kalian memahami apa yang ingin saya wujudkan? Tidak bisakah kita menjadi satu dengan tulus seperti (yang seharusnya) takdir. Kali ini saya ingin jujur bahwa saya LeLah. Tiada kata lain.
Kamis, 24 Oktober 2013
Kehadiranmu Di Rumahku
Dengan sedikit desakan aku meminta kalian mendatangi untuk berkunjung ke rumahku, dan aku berhasil. Hehehe...
Kamu dan delapan orang teman kita meramaikan malam di rumahku. Aku sangat bahagia. Banyak godaan untuk kita dari teman-teman. Seakan mereka ingin kita bersama menjalin kisah. Kisah kita tak banyak yang tahu, aku menyimpan kenangan itu. Masih dan masih.
Melihat kamu sedekat itu setelah sekian lama tidak bersua membuat hati ini sangat bahagia. Sungguh, kehadiranmu dan teman-teman membangkitkan kembali semangat yang pernah luntur.
Lucu melihatmu kikuk menanggapi kicauan teman-teman saat kamu bertemu dengan ibuku, kakak iparku, dan terakhir kakak kandungku. Cerita tentang kamu memang telah diketahui oleh keluarga inti, mereka yang tidak pernah mengenalmu secara langsung sangat penasaran dengan kamu. Pantas saja jika mereka juga berkicau ketika kamu datang. Serasa kita adalah pasangan ABG, hahaha...
Selama kamu di rumahku tidak banyak yang kamu bicarakan. Namun kita sempat berdampingan, berbicara seperti dulu, tanpa beban. Kutatap matamu ketika mata kita beradu, ketika kamu duduk di sampingku, masih kutemukan kesejukan di sana. Tak jarang pula aku menangkap matamu sedang memperhatikan gerak gerikku dari ekor mataku. Membuat aku sedikit kikuk. Serasa kita baru saja berkenalan dan saling merasa tertarik, hehehe...
Lama kehilangan senyummu, sulitnya bertemu dengan kamu karena keterbatasan jarak dan waktu, membuat hati ini serasa kehilangan sandaran. Kehilangan seseorang yang selalu ada kapanpun aku mau. Sungguh, kisah kita memang tidak sempurna namun abadi di hati ini.
Entah apalagi yang harus aku katakan untuk mengungkap perasaan ini, meski sebatas sahabat seperti yang pernah kita putuskan dulu, namun hati ini ingin kita tetap bersama. Sungguh hati ini sangat egois.
Sudahlah, lupakan tentang perasaan ini, yang pasti namamu, nama dia, namanya, tetap ada di hati, tidak pernah hilang karena kalian yang pernah memberikan warna di hariku.
Kesempurnaan kisah kita akan terjadi nanti saat masing-masing telah memiliki pasangan. Aku berharap hatimu tidak akan salah memilih perempuan yang pantas untuk kamu sayangi lagi.Dan aku, aku sendiri berharap dapat membuka kembali hati ini untuk cinta yang lain.
Kehadiranmu malam itu sangat memberiku semangat untuk segera bangkit dari keterpurukan. Terima kasih, V.C.S.
:) :)
Terima kasih pula teman-temanku yang lain.. hehehe...
Jumat, 27 September 2013
Kota Perantauanmu
Apa yang harus aku lakukan?
Di kota perantauanmu ini, aku menjelma menjadi sosok yang tak tahu diri. Berusaha merasakan apa yang kamu rasakan. Di kota perantauanmu ini, aku adalah orang brengsek yang tak ingin mengenal banyak orang. Di kota perantauanmu ini, untuk sementara, lima hari saja, aku inginmelihatmu dari kejauhan, sebentar saja. Ingin sekali. Sangat ingin. Aku sadar itu mustahil. Karena aku masih terlalu takut untuk membuka bekas luka itu. Masih sangat terlalu takut sekali. Sengaja kalimat sebelum ini menjadi hiperbola karena memang begitulah kenyataannya.