Sabtu, 21 Desember 2013

Menyembah Kematian

Malam itu, 9 November 2013, tak akan pernah aku lupakan malam penuh caci maki itu. Sembilan tahun bertarung dengan hati dan nurani, sembilan tahun pula menginginkan lepas dari kurungan neraka. Malam itu, kupikir adalah puncaknya. Malam itu, kupikir akan kutemukan surga. Malam itu, kupikir aku telah lepas dari amarah yang semakin hari semakin memuncak. 
Aku bukan Nabi yang memiliki kesanggupan berbincang dengan Tuhan, aku hanya seorang hamba, hamba yang tengah putus asa menghadapi hidup. Aku yang durhaka terhadap seorang ibu. Menginginkan ibu berpisah dengan kekasih hatinya. Kekasih yang mengkhianati, kekasih yang tidak pernah bisa menjadi imam keluarga. Akulah penyebab tangis dari mata ibu. Aku.
Kalian pikir aku kejam? Ya, aku kejam. Enyah saja dari dunia, mungkin itu lah yang terbaik. Tak akan menyebabkan ibu menangis. Namun jujur saja, aku bertanya-tanya, "Apa yang ditangisi ibu?"
Bagaimana lagi aku harus menyadarkan ibu bahwa tanpa masalah yangg tengah menggeluti mereka pun kami tetap tidak menerima kehadirannya. Entah bagaimana lagi aku harus mengatakan pada ibu bahwa bajingan itu tidak pantas untuk kami. Putus harapanku menginginkan kedamaian. Terganti resah tiada tara.
JUJUR SAJA AKU TIDAK INGIN IBU KEMBALI DENGAN BAJINGAN ITU. AKU INGIN MEREKA BERCERAI. AKU TIDAK PUNYA SEORANG AYAH BAJINGAN. AYAHKU TELAH BERADA DALAM RENGKUHAN ALLAH. BUKAN BAJINGAN ITU.
Andai aku memiliki kekuasaan, akan kuurus surat perceraian mereka tanpa hambatan. Melepaskan sepenuhnya hubungan mereka yang memang kuhina sejak dahulu. Namun ibu masih menginginkan bersama dia. Menjilat ludahnya sendiri yang mengatakan ingin lepas dari dunia bajingan itu. Ibu cukup plin-plan. Ketika ibu tidak lagi bisa memutuskan pilihan, maka aku yang akan pergi. Meninggalkan semuanya. Tak ingin lagi peduli.
Kini, di tengah putus asaku, aku menyembah kematian. Lebih hebat dari sebelumnya. Aku pernah menyembah kematian, saat Ayah meninggalkan aku tertinggal di dunia. Kini rasa itu jauh lebih hebat. Hebat tanpa akhir. Tak ada lagi kata yang sanggup kugambarkan. 
Inilah titik akhirku. Titik jenuhku. Titik kematianku.