Selasa, 29 Mei 2012

Bukan Kebetulan

Pagi ini, ketika burung-burung masih cerewet berbincang dengan alam, aku sibuk berbenah kamar kos yang lama tak terurus. Bukan aku malas, tapi ujian demi ujian datang, tugas demi tugas menghampiri. Kutemukan surat pertamaku untukmu, tanganku bergetar memegangnya. Surat itu kubuat dengan mendengar suara hati. Kuberikan sepaket dengan al quran, bolpoin, dan buku. Kulihat tanggal pembuatan, 8-1-2012. Aku ingat, 8-5-2012 kau putuskan aku. TanggaL 14 pun bersejarah bagiku, 14-12-2011 kita memutuskan menjalin kisah dan 14 sebelum bulan kelahiranku adalah ulang tahunmu. Akankah aku enggan mengingat 8 dan 14? Karena semua berhubungan denganmu. Ini bukan kebetulan..

Apakah Benar...?

SemaLam aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Entah mengapa, bayangmu benar-benar mengganggu. Di tengah kesendirian Logikaku meLayang, mempertanyakan semua haL pada Tuhan. Tuhan, benarkah Engkau membaLas setiap perbuatan? Kenapa ketika aku setia justru terkhianati? Ketika aku tuLus justru dituduh mempermainkan? Jika memang keLak aku akan mendapat kesetiaan dan ketuLusan, pada siapa hati ini meLunak? Tuhan, boLehkah aku meminta padamu untuk segera mempertemukan ia yang teLah Kau takdirkan untukku? Ketika waktu itu terjadi, tak akan Lagi aku meLepas tangannya.. Tuhan, tepati janji-Mu..
:)

Aku Sekarang

jika aku menghilang, itu karena aku tak ingin menjadi bebanmu..
jika aku berpura2 tak mengenalmu, itu karena aku tak ingin kamu malu..
ya, aku memang tak pantas untuk kamu sentuh..
walau hati masih menyimpan rasa, yakin lah aku telah berusaha melakukan yang kamu mau, membunuh rasa itu..
walau hati masih terluka, kucoba mengobatinya sendiri..
meski ada mereka yang berniat membantu..
bukan, aku bukan berlagak tegar atau tak butuh mereka..
aku hanya butuh kesendirian untuk kembali pada sadarku..
entah sampai kapan aku akan sendiri, hanya aku dan Tuhan yang tahu..
untukmu, yang telah berikan luka, terima kasih atas waktumu terdahulu untukku..
kini aku kembali melangkah....

Mungkin Memang Yang Terakhir

Sejak keputusanmu, aku menghilang dari peredaranmu. Aku pikir kau akan merindukan kehadiranku dan mencari keberadaanku. Namun hari demi hari kulewati, hingga tercipta kata ‘dua minggu’. Tak ada kabar darimu, kau pun tak mencariku. Aku berpikir dengan logika, mengikuti jejakmu, sang pemuja logika. Saat kita bersama saja kau tak pernah sedikitpun merasa rindu padaku jika aku menghilang tanpa kabar, bagaimana dengan keadaan sekarang? Tak ada alasan bagimu untuk merindukan kehadiranku. Aku bukanlah orang penting dalam hidupmu, jadi wajarlah jika memang kau tak pernah menoleh padaku.
Sejak kita berpisah, aku mencari tahu apa yang sebenarnya menjadi alasanmu meninggalkan aku. Kutemukan jawaban itu, dan kamu tahu? Betapa sakit hati ini saat mengetahuinya namun tak lama kemudian aku tertawa. Menertawakan alasan konyolmu. Tak habis pikir aku mendengar bahwa ka menyangka aku sedang membalas budimu dengan menyayangi kamu. Juga alasan aku terlalu berlebihan dalam mengungkapkan rasa sayang.
Bagimu, ucapan ‘Love’ you sangat berlebihan untuk diucapkan. Tidak tahukah kamu bahwa kata itu sangat penting bagi seorang perempuan. Tidak hanya untuk aku. Sadarkah kau bahwa ketidakpedulianmu pada seorang kekasih adalah tidak wajar dan berlebihan? Aku hanya ingin memberikan contoh bagaimana memperlakukan seorang kekasih, namun rupanya kamu salah paham dan menganggap bahwa aku alay. Terserahlah apa penilaianmu terhadap aku, yang jelas aku semakin sadar bahwa kita benar-benar berbeda. Aku memang sayang padamu, ingin kembali padamu, namun sejak aku tahu apa alasanmu, rasa cinta itu semakin lama semakin mengecil. Tidak, aku tidak melupakan rasa sayang padamu dengan cepat, hanya saja kamu yang memintanya seperti itu.
Tentang balas budi, tak pernah terpikir olehku bahwa rasa sayang itu adalah bentuk balas budi. Aku tulus menyayangimu. Memang aku berterimakasih padamu karena telah membantuku bangkit saat aku terpuruk, tak aku pungkiri itu. Namun sayang dan kasih yang aku berikan selama ini tak ada kaitannya dengan ucapan terima kasih itu. Sungguh benar-benar tidak ada.
Asal kau tahu, aku masih ingin merasakan belaian kasihmu, aku merindukan panggilan sayang darimu, dan aku menunggu kalimat maaf terucap dari bibirmu. Namun aku harus mengubur harapan itu karena aku tahu kau tak akan melakukan itu lagi untukku.
Sedemikian pentingnya kah urusan organisasimu hingga kau tak dapat melihat kasih ini? Sedemikian pentingnya kah sahabat bagimu hingga kau tak merasakan sayang ini? Entahlah, bagaimana jalan pikiranmu. Aku tak pernah mengerti.
Sudahlah, obrolan kita kemarin adalah yang terakhir. Mungkin saja aku malas menghubungimu. Mungkin saja kelak kau akan benar-benar hilang dari ingatanku tergantikan dengan banyak hal yang menjadi tanggung jawabku pula. Maaf jika memang itu akan terjadi. Sementara aku telah sadar sejak awal bahwa aku adalah masa lalu untukmu, dan bagimu masa lalu hanyalah masa lalu, tak lebih. Maka masa lalu adalah sampah yang harus dibuang. Aku adalah masa lalu yang siap masuk tong sampah. Silahkan kau berlari meninggalkan aku, tak akan aku pegang tanganmu karena kau telah melepas tangan ini.
Selamat tinggal, kenangan....
Kelak, saat kita telah di garis bahagia dengan seseorang yang telah memegang tangan kita, bahagia lah kita.
Kelak, bahagia tengah menanti....
Maafkan aku jika kelak aku tak dapat mengenalimu dengan baik....


Senin, 21 Mei 2012

Keputusanmu

Aku lupa menulis tentang ini. Sebenarnya aku tak ingin menceritakannya, tapi hatiku terlalu 'penuh' maka aku memutuskan untuk menuangkannya di sini.
Pada tanggal 8 Mei yang lalu, aku menangis pada seorang kawan. Kukatakan padanya semua rasa dalam hati. Sungguh, aku merasakan ketenangan dari setiap pesannya. Aku tak sempat mengatakan 'Terima kasih' padanya karena terlampau susah untuk kembali berkomunikasi dengannya. Ada satu alasan dimana aku tak ingin kehadiranku membunuh suasana bahagia di sekelilingnya.
Malam itu juga, untuk terakhir kalinya aku mendengar suaramu. Suara yang selama lima bulan perjalanan kisah kita selalu aku rindukan. Aku sadar, aku tak mungkin mengikatmu jika kamu selalu ingin berpisah dengan talinya. Maka ketika keputusanmu adalah 'Putus', aku hanya mengelus dada, menahan air mata yang tak mampu lagi tertampung, dan menguatkan hatiku sendiri.
Malam itu, tak ada satu pun bintang yang hadir menemani aku. Bahkan untuk beberapa hari setelahnya, langit mendung, tak bersahabat. Seperti aku yang tak masih tak mampu membendung air mata dan kesedihan karena keputusanmu.
Tak hanya keputusanmu yang menjadikan aku menggeleng kepala heran. Alasan yang ajukan pun membuat aku terheran-heran. Alasan itu bisa saja terpecahkan jika kau mau dan kau ingin kita tetap bersama. Namun aku telah mendengar alasanmu yang sebenarnya. Aku tahu dari salah satu sahabatmu. Aku percaya padanya.
Alasanmu benar-benar membunuh rasa sayang yang selama ini aku pupuk. Kau katakan aku menjadikanmu pelampiasan, itu sungguh melecehkan aku. Bagaimana bisa kau berpikir aku sekedar balas budi atas kebahagiaan yang telah kau berikan saat aku sedang bangkit dari keterpurukan? 
Kau juga mengatakan bahwa aku berlebihan dalam mencintaimu. Memang aku akui aku berlebihan mencintaimu, karena aku merasakan kebahagiaan dan merasa dihargai sebagai perempuan hanya denganmu. Tidak dengan laki-laki lain. Tapi aku menunjukkan 'berlebihan' itu karena aku ingin kau sadar bahwa kita ini adalah pasangan. kita ini bukan sekedar teman atau sahabat.
Aku butuh kepastian darimu. Sadarkah kamu bahwa sikapmu padaku tak ada yang menunjukkan bahwa kau adalah lelakiku?
Sadarkah kamu bahwa aku cemburu ketika kau lebih khawatir karena sahabatmu hilang di tengah keramaian daripada mengkhawatirkan aku yang kedinginan karena udara malam? Bahkan kau tak sedikitpun khawatir padaku jika aku hilang tanpa kabar. Sepenting itukan sahabatmu daripada aku yang mungkin saja menjadi masa depanmu?
Aku pendam kecemburuan itu. Aku simpan amarah itu, bukan hanya perkara sepele itu tapi juga karena perkara lainnya. Tak kulihat gelagatmu berusaha menyeimbangkan keadaan denganku. Aku gerah bukan main.
Satu hal yang pasti, keputusanmu adalah yang terbaik. Memang yang terbaik untuk kamu. Aku tak akan mengejarmu lagi. Sudah cukup aku kehilangan kendali karena kepergianmu, maka jangan pernah kau hadir dengan membawa harapan padaku jika itu hanya untuk kau permainkan.

Jeritan Hati Ini

Jika aku marah, jika aku menangis, jika aku terlihat lemah, apakah itu salah? Aku tidak merasa pongah dengan keangkuhan mengakui kelemahanku. Aku sadar aku hanya manusia. Tuhan ciptakan aku bukan dari cahaya seperti Dia menciptakan malaikat. Maka aku bukan bagian dari malaikat. Aku memiliki amarah dan kelemahan.
Jika aku tak sanggup berkata-kata, kemana aku akan melangkah? Apakah ada satu orang saja yang berniat meminjamkan pundaknya padaku? Aku rasa tidak akan ada. Ayah yang selalu ada untukku telah berada di hadapan Tuhan, beliau hanya bisa melihat aku berderai air mata. Mungkin beliau ingin memelukku dan menenangkan aku seperti dulu yang beliau lakukan, tapi alam dan Tuhan tak mengijinkan. Dia yang aku banggakan dan aku harapkan dapat menjadi penopangku telah pergi. Satu persatu. Sepertinya aku selalu salah memilih pundak mereka yang lebih memilih kepentingannya sendiri.
Jika aku mengeluh demikian, aku menemukan satu jawaban, “Pada sahabatlah kamu bersandar.”
Tidak aku pungkiri, aku memiliki banyak sahabat. Tapi apakah mereka tidak memiliki masalah juga? Haruskah aku egois dengan meminta mereka untuk mendengarkan curhatku dan melupakan masalah mereka sendiri? Itu bukan aku.
Tak aku temukan pundak yang tepat ketika hati ini meronta meminta sedikit keadilan. Salahkah aku jika aku mengeluh lelah dengan semua yang telah terjadi? Aku benar-benar lelah menghadapi hidup ini.
Bukan, aku bukan tidak bersyukur pada Tuhan. Hanya saja setiap orang disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak, pasti memiliki titik jenuh akan kehidupan ini.
Yang aku butuhkan adalah ketenangan. Tidak bisakah sebentar saja tenang dalam menghadapi amarah? Karena aku muak dengan amarah yang berkobar namun terpendam dalam sekam. Tidak bisakah sedikit saja berikan aku ruang untuk tersenyum melihat kedamaian? Bukan kedamaian berupa topeng yang aku inginkan, aku ingin kedamaian yang sebenarnya. Yang nyata. Tidak abstrak.
Duniaku tak hanya sebatas tentang kalian saja, bukan aku tak ingin menghiraukan. Hanya saja ketika kalian mendapat perhatianku, selalu aku yang terpojok. Niat baikku pun hilang entah kemana. Dibuang sia-sia. Tak pernah berwujud.
Aku bingung. Aku gundah. Aku gelisah.
Semua yang aku rasakan membuat aku semakin yakin bahwa mati adalah jalan terbaik.
“Tidak, tidak, Tuhan masih di pihakku.” Ujarku pada hatiku sendiri.
Sampai kapan ini akan berlangsung? Sampai aku kehabisan air mata? Sampai aku mati dengan mulut menganga yang berusaha mengatakan pada kalian untuk saling memahami? Atau sampai aku kehilangan akal sehat karena memikirkan semua ini?
Aku pun tak berniat mengalihkan apa yang menjadi kewajibanku kepada orang lain. Aku ingin berbagi sedikit saja dengan mereka yang ingin membantuku. Aku bukan menyebar aib, aku ingin menegarkan hatiku sendiri dengan semangat dari mereka. Terkadang semangat yang mereka berikan melebihi kebutuhanku, maka aku akan menyimpan semangat itu untuk kupakai esok. Jika esok semangat itu habis dan tak ada yang mengisi, entah apa yang akan terjadi padaku.
Tuhan, tidak bolehkah aku melihat cahaya-Mu?
Sedikit saja....
Aku ingin tentram dan damai....
Tuhan, ijinkan aku merasakan sentuhan-Mu....
Sebentar saja....
Aku ingin pulas dalam dekap-Mu....
Maafkan aku yang terlalu ingin meninggalkan dunia ini sebelum takdirmu menyentuhku. Aku hanya ingin bertemu dengan-Mu, Tuhan....
Akan aku ceritakan bagaimana aku menahan sakit di hati, menyimpan luka untuk waktu yang tak sebentar. Walau aku tahu, tanpa aku bercerita pada-Mu, Engkau telah tahu apa yang terjadi padaku.
Tuhan, inilah tulisan jeritan hati yang ingin aku katakan pada-Mu dan dunia....